Thursday, January 24, 2013

RSBI



Dalam rangka pembinaan, ada empat klasifikasi sekolah, yaitu sekolah rintisan, sekolah Potensial, sekolah standar nasional, dan rintisan sekolah bertaraf internasional. Sekolah rintisan adalah sekolah yang belum memenuhi standar nasional pendidikan (SNP). Sekolah potensial adalah sekolah yang sudah mendekati pemenuhan SNP, dan Sekolah standar nasional adalah sekolah yang sudah memenuhi SNP. Kemudian Rintisan sekolah bertaraf internasional ( RSBI ) adalah sekolah yang sudah memenuhi SNP + X.
Seperti kita ketahui, SNP sesuai Peraturan Pemerintah nomor: 19 tahun 2005 adalah terdiri dari 8 standar.
1.      Standarisi/kurikulum.
2.      Standar proses.
3.      Standar Kompetensi Lulusan.
4.      Standar Penilaian.
5.      Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
6.      Standar Sarana dan Prasarana.
7.      Standar Pengelolaan.
8.      Standar Pembiayaan.
Jadi pada dasarnya, RSBI adalah sekolah nasional yang menyelenggarakan pendidikan berdasar SNP dan mutu internasional sekaligus. Kualitas bertaraf nasional diukur dengan SNP dan kualitas bertaraf internasional diukur dengan kriteria-kriteria internasional yang dikaji secara seksama melalui persandingan SNP dengan standar/kriteria Mutu internasional, pertukaran informasi, studi banding dsbnya. Jadi kualitas internasional merupakan kelebihan dari kualitas nasional (SNP), baik berupa penguatan, Pendalaman, pengayaan, perluasan maupun penambahan terhadap SNP.
Ada sepuluh kelemahan utama yang menjadi alasan kuat bagi Kementrian Pendidikan Nasional untuk segera menghentikan program sekolah bertaraf Internasional (SBI). Mulai dari salah konsep hingga merusak bahasa dan mutu pendidikan, program SBI dianggap tidak cocok dan harus segera ditinggalkan.

Bisa dibuktikan, bahwa tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam dalam SBI.
-- Satria Dharma

Demikian dilontarkan Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma dalam Petisi Pendidikan tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang dinilai sebagai program gagal. Petisi itu dipaparkan Ketua Umum IGI Satria Dharma di depan Komisi X DPR RI, Selasa (8/3/2011), untuk mendesak Komisi X segera menghentikan sementara seluruh program SBI.
"Program SBI itu salah konsep, buruk dalam pelaksanaannya dan 90 persen pasti gagal. Di luar negeri konsep ini gagal dan ditinggalkan," kata Satria tentang isi petisi tersebut.
Menurutnya, sepuluh kelemahan mendasar program SBI itu harus dievaluasi, diredefinisi, dan perlu dihentikan. Kelemahan pertama, kata Satria, program SBI jelas tidak didahului riset yang lengkap sehingga konsepnya sangat buruk.
"Bisa dibuktikan, bahwa tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam dalam SBI," tegas Satria.
Kedua, SBI adalah program yang salah model. Kemdiknas membuat panduan model pelaksanaan untuk SBI baru (news developed), tetapi yang terjadi justru pengembangan pada sekolah-sekolah yang telah ada (existing school).
Ketiga, program SBI telah salah asumsi. Kemdiknas mengasumsikan, bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris, seorang guru harus memiliki TOEFL> 500.
"Padahal, tidak ada hubungannya antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogis," paparnya.
Merusak bahasa
Satria memaparkan, kelemahan keempat pada SBI adalah telah terjadi kekacauan dalam proses belajar-mengajar dan kegagalan didaktik. Menurutnya, guru tidak mungkin disulap dalam lima hari agar bisa mengajarkan materinya dalam bahasa Inggris. Akibatnya, banyak siswa SBI justru gagal dalam ujian nasional (UN) karena mereka tidak memahami materi bidang studinya.
"Itulah fakta keras yang menunjukkan bahwa program SBI ini telah menghancurkan best practice dan menurunkan mutu sekolah-sekolah terbaik yang dijadikan sekolah SBI," tambahnya.
Di sisi lain, hasil riset Hywel Coleman dari University of Leeds UK menunjukkan, bahwa penggunaana bahasa Inggris dalam proses belajar-mengajar telah merusak kompetensi berbahasa Indonesia siswa.
Sementara itu, kelemahan kelima dari SBI adalah penggunaan bahasa pengantar pendidikan yang salah konsep. Dengan label SBI, materi pelajaran harus diajarkan dalam bahasa Inggris, sementara di seluruh dunia seperti Jepang, China, Korea justru menggunakan bahasa nasionalnya, tetapi siswanya tetap berkualitas dunia.
"Kalau ingin fasih dalam berbahasa Inggris yang harus diperkuat itu bidang studi bahasa Inggris, bukan bahasa asing itu dijadikan bahasa pengantar pendidikan," tegas Satria.
Keenam, SBI dinilai telah menciptakan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan. Sementara itu, kelemahan ketujuh menegaskan, bahwa SBI juga telah menjadikan sekolah-sekolah publik menjadi sangat komersial.
"Komersialisasi pendidikan inilah yang kita tentang, karena hanya anak orang kaya yang bisa sekolah di SBI," tandas Satria.
SBI juga telah melanggar UU Sisdiknas. Karena menurut Satria, pada tingkat pendidikan dasar sekolah publik atau negeri itu wajib ditanggung pemerintah. Kenyataannya, dalam SBI peraturan ini tidak berlaku.
Kedelapan, SBI telah menyebabkan penyesatan pembelajaran. Penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah karena tanpa itu semua sebuah sekolah tidak berkelas dunia.
"Program ini lebih mementingkan alat ketimbang proses. Padahal, pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat," katanya.
Kelemahan kesembilan, lanjut dia, SBI telah menyesatkan tujuan pendidikan. Kesalahan konseptual SBI terutama pada penekanannya terhadap segala hal yang bersifat akademik dengan menafikan segala hal yang nonakademik.
"Seolah tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan siswa sebagai seorang yang cerdas akademik belaka, padahal pendidikan bertujuan mendidik manusia seutuhnya, termasuk mengembangkan potensi siswa di bidang seni, budaya, dan olahraga," ujar Satria.
Kelemahan terakhir, SBI adalah sebuah pembohongan publik. SBI telah memberikan persepsi yang keliru kepada orang tua, siswa, dan masyarakat karena SBI dianggap sebagai sekolah yang "akan" menjadi sekolah bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal, kata Satria, kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai dan bahkan akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada.
"Ini sama saja dengan menanam 'bom waktu'. Masyarakat merasa dibohongi dengan program ini dan pada akhirnya akan menuntut tanggung jawab pemerintah yang mengeluarkan program ini," kata Satria.

No comments:

Post a Comment