Dalam rangka pembinaan, ada empat
klasifikasi sekolah, yaitu sekolah rintisan, sekolah Potensial, sekolah standar
nasional, dan rintisan sekolah bertaraf internasional. Sekolah rintisan adalah
sekolah yang belum memenuhi standar nasional pendidikan (SNP). Sekolah
potensial adalah sekolah yang sudah mendekati pemenuhan SNP, dan Sekolah standar
nasional adalah sekolah yang sudah memenuhi SNP. Kemudian Rintisan sekolah
bertaraf internasional ( RSBI ) adalah sekolah yang sudah memenuhi SNP + X.
Seperti kita ketahui, SNP sesuai
Peraturan Pemerintah nomor: 19 tahun 2005 adalah terdiri dari 8 standar.
1.
Standarisi/kurikulum.
2.
Standar
proses.
3.
Standar
Kompetensi Lulusan.
4.
Standar
Penilaian.
5.
Standar
Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
6.
Standar
Sarana dan Prasarana.
7.
Standar
Pengelolaan.
8.
Standar
Pembiayaan.
Jadi pada dasarnya, RSBI adalah
sekolah nasional yang menyelenggarakan pendidikan berdasar SNP dan mutu
internasional sekaligus. Kualitas bertaraf nasional diukur dengan SNP dan
kualitas bertaraf internasional diukur dengan kriteria-kriteria internasional
yang dikaji secara seksama melalui persandingan SNP dengan standar/kriteria
Mutu internasional, pertukaran informasi, studi banding dsbnya. Jadi kualitas
internasional merupakan kelebihan dari kualitas nasional (SNP), baik berupa
penguatan, Pendalaman, pengayaan, perluasan maupun penambahan terhadap SNP.
Ada sepuluh kelemahan utama yang
menjadi alasan kuat bagi Kementrian Pendidikan Nasional untuk segera
menghentikan program sekolah bertaraf Internasional (SBI). Mulai dari salah
konsep hingga merusak bahasa dan mutu pendidikan, program SBI dianggap tidak
cocok dan harus segera ditinggalkan.
Bisa dibuktikan, bahwa tidak jelas
apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam dalam SBI.
-- Satria Dharma
Demikian dilontarkan Ketua Umum Ikatan
Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma dalam Petisi Pendidikan tentang Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) yang dinilai sebagai program gagal. Petisi itu
dipaparkan Ketua Umum IGI Satria Dharma di depan Komisi X DPR RI, Selasa
(8/3/2011), untuk mendesak Komisi X segera menghentikan sementara seluruh
program SBI.
"Program SBI itu salah konsep,
buruk dalam pelaksanaannya dan 90 persen pasti gagal. Di luar negeri konsep ini
gagal dan ditinggalkan," kata Satria tentang isi petisi tersebut.
Menurutnya, sepuluh kelemahan
mendasar program SBI itu harus dievaluasi, diredefinisi, dan perlu dihentikan.
Kelemahan pertama, kata Satria, program SBI jelas tidak didahului riset yang
lengkap sehingga konsepnya sangat buruk.
"Bisa dibuktikan, bahwa tidak
jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam dalam SBI,"
tegas Satria.
Kedua, SBI adalah program yang salah
model. Kemdiknas membuat panduan model pelaksanaan untuk SBI baru (news developed), tetapi yang terjadi
justru pengembangan pada sekolah-sekolah yang telah ada (existing school).
Ketiga, program SBI telah salah
asumsi. Kemdiknas mengasumsikan, bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa
Inggris, seorang guru harus memiliki TOEFL> 500.
"Padahal, tidak ada hubungannya
antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. TOEFL bukanlah ukuran
kompetensi pedagogis," paparnya.
Merusak
bahasa
Satria memaparkan, kelemahan keempat
pada SBI adalah telah terjadi kekacauan dalam proses belajar-mengajar dan
kegagalan didaktik. Menurutnya, guru tidak mungkin disulap dalam lima hari agar
bisa mengajarkan materinya dalam bahasa Inggris. Akibatnya, banyak siswa SBI
justru gagal dalam ujian nasional (UN) karena mereka tidak memahami materi
bidang studinya.
"Itulah fakta keras yang
menunjukkan bahwa program SBI ini telah menghancurkan best practice dan menurunkan mutu sekolah-sekolah terbaik yang
dijadikan sekolah SBI," tambahnya.
Di sisi lain, hasil riset Hywel
Coleman dari University of Leeds UK menunjukkan, bahwa penggunaana bahasa
Inggris dalam proses belajar-mengajar telah merusak kompetensi berbahasa
Indonesia siswa.
Sementara itu, kelemahan kelima dari
SBI adalah penggunaan bahasa pengantar pendidikan yang salah konsep. Dengan
label SBI, materi pelajaran harus diajarkan dalam bahasa Inggris, sementara di
seluruh dunia seperti Jepang, China, Korea justru menggunakan bahasa
nasionalnya, tetapi siswanya tetap berkualitas dunia.
"Kalau ingin fasih dalam
berbahasa Inggris yang harus diperkuat itu bidang studi bahasa Inggris, bukan
bahasa asing itu dijadikan bahasa pengantar pendidikan," tegas Satria.
Keenam, SBI dinilai telah menciptakan
diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan. Sementara itu, kelemahan ketujuh
menegaskan, bahwa SBI juga telah menjadikan sekolah-sekolah publik menjadi
sangat komersial.
"Komersialisasi pendidikan
inilah yang kita tentang, karena hanya anak orang kaya yang bisa sekolah di
SBI," tandas Satria.
SBI juga telah melanggar UU
Sisdiknas. Karena menurut Satria, pada tingkat pendidikan dasar sekolah publik
atau negeri itu wajib ditanggung pemerintah. Kenyataannya, dalam SBI peraturan
ini tidak berlaku.
Kedelapan, SBI telah menyebabkan
penyesatan pembelajaran. Penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan
canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah karena tanpa itu
semua sebuah sekolah tidak berkelas dunia.
"Program ini lebih mementingkan
alat ketimbang proses. Padahal, pendidikan adalah lebih ke masalah proses
ketimbang alat," katanya.
Kelemahan kesembilan, lanjut dia, SBI
telah menyesatkan tujuan pendidikan. Kesalahan konseptual SBI terutama pada
penekanannya terhadap segala hal yang bersifat akademik dengan menafikan segala
hal yang nonakademik.
"Seolah tujuan pendidikan adalah
untuk menjadikan siswa sebagai seorang yang cerdas akademik belaka, padahal
pendidikan bertujuan mendidik manusia seutuhnya, termasuk mengembangkan potensi
siswa di bidang seni, budaya, dan olahraga," ujar Satria.
Kelemahan terakhir, SBI adalah sebuah
pembohongan publik. SBI telah memberikan persepsi yang keliru kepada orang tua,
siswa, dan masyarakat karena SBI dianggap sebagai sekolah yang "akan"
menjadi sekolah bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal,
kata Satria, kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai dan bahkan akan
menghancurkan kualitas sekolah yang ada.
"Ini sama saja dengan menanam
'bom waktu'. Masyarakat merasa dibohongi dengan program ini dan pada akhirnya
akan menuntut tanggung jawab pemerintah yang mengeluarkan program ini,"
kata Satria.
No comments:
Post a Comment